Membangun Spirit Reformasi Melalui Isra’ Mi‘raj
Oleh Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag(Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat)dan Dosen IAIN Walisongo Semarang)
Alexis Carrel, seorang ilmuan asing yang pernah meraih dua kali hadiah nobel, pernah menyatakan bahwa : “Apabila pengabdian kepada Tuhan (red ; shalat), do’a yang tulus kepada Tuhan Yang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan masyarakat, maka hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut”.
Di momentum peringatan Isra’ Mi’raj sekarang ini, pernyataan Alexis Carrel tersebut kiranya perlu direnungkan dan disikapi secara positif. Mengingat suasana atmosfer demokrasi yang masih dalam masa transisi – masa anomi (masa di mana tradisi lama sudah ditinggalkan namun belum menemukan tradisi baru), negara Indonesia belum menampakkan adanya tanda-tanda keberhasilannya dalam menjalankan reformasi (red; belum tuntas reformasinya) sebagaimana yang dicita-citakan. Oleh karena itu, dalam suasana yang demikian, kehadiran momentum peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw yang melahirkan amanat perintah ibadah shalat, kiranya sangat bermanfaat manakala makna esensial dari asbabun nuzul Isra’ Mi’raj dapat diaktualisasikan untuk membangun semangat reformasi di Negara kita yang masih dalam masa transisi ini, untuk menuju pada negara yang baldatun tayyibatun.
Esensi Isra’ Mi’raj
Isra’ Mi’raj yang diperingati setiap tanggal 27 Rajab, pada dasarnya merupakan sejarah pengalaman perjalanan Nabi dalam rangka mendidik takwa kepada umat manusia. Sehingga untuk memahami peristiwa terjadinya Isra’ Mi’raj tersebut diperlukan pendekatan imany. Sebagaimana yang dilakukan sahabat Abu Bakar : “Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya”. Menurut Quraish Shihab, ada pesan yang dapat diambil dari peristiwa terjadinya Isr’a Mi’raj tersebut. Hasil terpenting dari perjalanan nabi tersebut adalah pesan yang berupa perintah untuk melaksanakan ibadah shalat. Perintah tersebut dijalankan sebanyak lima waktu dalam sehari semalam. Shalat adalah media untuk berkomunikasi antara umat manusia yang lemah dan tak berdaya kepada Tuhannya. Sehingga wajar karena pentingnya ibadah shalat, Tuhan langsung memanggil Nabi Muhammad saw untuk menghadap langsung tanpa melalui perantara, tidak sebagaimana perintah ibadah lainnya. Oleh karenanya terdapat hadis : “Awalu ma yuhasabu min ‘ibadiy al-shalatu “ ( Permulaan amal ibadah yang akan dihisab adalah shalat ). Dan hadis : “al-Shalatu ‘imaduddin faman aqamaha faqad aqamaddin faman tarakaha faqad hadamaddin” (Shalat adalah tiang agama, barang siapa mengerjakannya maka dia telah menguatkan agamanya, dan barangsiapa meninggalkannya maka dia telah merusak agamanya).
Hal ini menunjukkan bahwa pada hakekatnya ibadah shalat merupakan kebutuhan mutlak manusia untuk mewujudkan manusia seutuhnya, baik kebutuhan akal pikiran maupun kebutuhan jiwa manusia. Mengingat status agama (Islam) merupakan pandangan hidup yang holistic (baca Anderson dalam Islamic Law in Modern Word). Ibadah shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawentahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan tentang pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan system. Shalat juga menggambarkan tata intelegensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh kekuatan Yang Maha Dahsyat. Oleh karenanya menurut Quraish Shihab, idealnya semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, semakin tekun dan khusu’ dalam melaksanakan ibadah shalat.
Realitas vs Idealitas
Hanya saja, realita di masyarakat masih banyak yang salah kaprah dalam memahami ibadah shalat. Sebagaimana munculnya nasehat berbahasa jawa dari orang tua pada anaknya : “terserah karep dadi opo, sing penting shalate ojo lali” (terserah mau jadi apa, yang penting jangan lupa shalatnya). Ini merupakan contoh nasehat yang tidak salah namun sangat besar kemungkinan disalahtafsirkan. Nasehat seperti ini bisa memunculkan asumsi bahwa berperilaku buruk di bumi ini tidak masalah, yang penting masih melakukan ibadah shalat. Di sadari atau tidak, pandangan salah inilah yang selama ini mengendap di bawah alam kesadaran sebagian besar muslim Indonesia.
Di samping itu, sebagian masyarakat muslim juga sering hanya terkungkung mempersoalkan seputar syarat sahnya ibadah shalat. Belum pernah mengambah pada persoalan bagaimana hakikatnya ibadah shalat? Sehingga berasumsi bahwa ibadah shalat hanyalah bentuk ibadah ritual religius saja. Oleh karenanya, dalam realita kehidupan sehari-hari belum nampak (kalau tidak mau mengatakan : tidak ada) adanya korelasi antara banyaknya masjid dan ramainya masjid diwaktu shalat dengan perilaku orang-orang yang telah shalat dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan secara makro, sangat ironis bahwa bangsa Indonesia terkenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia namun juga termasuk negara terkorup di dunia.
Pada dasarnya filosofi setiap ibadah adalah berdemensi ganda yakni demensi habluminallah dan habluminannas ( baca Ibrahim al-Khoulydalam Islam and Contempory Society ). Artinya setiap ibadah di samping akan membentuk terwujudnya keshalehan individual (spiritualitas individual–esoteris) tentunya akan membentuk terwujudnya keshalehan social (moralitas publik – eksoteris). Sehingga termasuk ibadah shalat tentunya juga memiliki demensi ganda. Hal ini dapat dilihat dari maksud shalat itu sendiri yakni : “Innashshalata tanha ‘anil fahsya-I wal munkar” (Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar).(QS.al-Ankabut : 45)
Dari ayat tersebut, mestinya jelas bahwa esensinya ibadah shalat adalah terwujudnya keshalehan social di samping terwujudnya keshalehan individual. Dalam bahasa Agama inilah yang disebut sebuah pencapaian pada hakekat ibadah.
Makanya keliru manakala dalam menjalankan ibadah shalat hanya berorientasi pada asal sah ibadahnya (habluminallah). Karena orientasi semacam itu baru dalam mencapai kerangkanya saja belum mencapai hakekatnya. Sedangkan untuk mencapai hakekat ibadah shalat, kiranya perlu mengaktualisasikan ibadah tersebut dalam dua demensi sekaligus yakni keabsahan habluminallah dan realisasi nilai ibadah dalam habluminannas. Sehingga jelas bahwa demensi ganda yakni demensi religi dan demensi social adalah satu-kesatuan yang utuh dalam ibadah shalat yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Inilah hakekat melaksanakan ibadah shalat sebenarnya.
Karenanya patut dipertanyakan “Benarkah sudah melakukan ibadah shalat “ bagi mereka yang hanya melakukan ibadah shalat secara ritual namun belum merealisasikan nilai ibadah shalat dalam kehidupan sehari-hari.
Mari kita perbaiki bangsa kita yang baru mereformasi diri ini dengan melaksanakan “shalat” secara hakiky. Secara reflektif, jika akumulasi semangat reformasi diri dari masalah shalat ini dikomulatifkan, akan menjadi energi besar dalam membangun karakter reformasi pada bangsa kita ini. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar