Oleh Thobib Al-Asyhar
(Penulis Buku, Kasubag Sistem Informasi Bimas Islam)
Beberapa waktu lalu, sebuah komunitas dan pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat, mencanangkan Gerakan Membangun Indonesia Agamis Untuk Indonesia Damai. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk membangun kesadaran masyarakat muslim agar dapat menjalankan nilai-nilai agama demi terwujudnya tatanan social yang rukun, damai, dan hidup harmonis. Menurut penulis, pencanangan ini tidak terlepas dari fenomena adanya jarak yang jauh antara nilai-nilai agama dengan perilaku umat Islam belakangan ini.
Seperti kita ketahui, bahwa bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius yang tercermin dari kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara. Di lingkungan masyarakat terlihat terus meningkat kesemarakan dan kekhidmatan kegiatan keagamaan, baik dalam bentuk ritual, maupun dalam bentuk sosial keagamaan. Semangat keagamaan tersebut, tercermin pula dalam kehidupan bernegara yang dapat dijumpai dalam dokumen-dokumen kenegaraan tentang falsafah negara Pancasila, dan UUD 1945.
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional juga terbangun semangat keagamaan dengan ditetapkannya asas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sebagai salah satu asas pembangunan. Hal ini berarti bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etik pembangunan.
Indonesia memang bukan negara agama, namun Indonesia adalah negara agamis. Dalam arti, tatanan kenegaraan NKRI tidak didasari oleh ideologi agama atau mazhab tertentu, namun negara dan bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi norma-norma keagamaan. Sehingga, segala pemikiran dan usaha untuk menggeser norma-norma agama akan tersingkir dari wacana kebangsaan. Pada saat yang sama, bangsa Indonesia juga memiliki corak dan watak masyarakat Timur yang kental dengan toleransi dan gotong-royong antar sesama. Karenanya, segala bentuk tindak kriminal, kekerasan dan arogansi social akan mendapatkan reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat.
Namun, apa yang kita lihat sekarang, masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya seperti apa yang dipaparkan di atas. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang sangat cepat akhir-akhir ini telah merubah cara pandang dan perilaku masyarakat secara drastis. Nilai-nilai sosial yang dulunya dianggap tabu, kini mulai bergeser menjadi biasa, bahkan menjadi fenomena dalam kehidupan sehari-hari. Pola pikir dan perilaku positif yang memiliki akar sosial yang tinggi dari sejarah kebudayaan masyarakat mulai nampak ditinggalkan, karena kuatnya tuntutan hidup dalam rangka untuk mencapai puncak kesejahteraan material.
Dampak dari kondisi tersebut kemudian membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat modern. Masyarakat ini dicirikan dengan tuntutan pekerjaan yang padat, tingkat kompetisi yang ketat dan ambisi kesejahteraan hidup yang tinggi. Sehingga, secara tidak sadar, pola pikir dan kebiasaan lama yang dianggap kurang mendukung bagi aktifitas “kemodernan” mulai ditinggalkan.
Seperti kondisi saat ini dimana masyarakat kita dengan mudah terjebak dalam kecenderungan hidup materalistik, hedonisnisk, dan individualistik. Nilai-nilai etika, moral dan keluhuran budaya jauh mengalami kemunduran. Dahulu orang masih menjunjung tinggi kesetiaan, tetapi sekarang banyak keluarga yang hancur karena diakibatkan perselingkuhan. Dahulu orang masih memegang teguh janji, tetapi sekarang dengan terang-terangan banyak yang melanggarnya. Dahulu orang malu melakukan korupsi, sekarang seperti menjadi budaya di semua level sosial, tak terkecuali dari kalangan yang menjadi simbol agama, dan begitu seterusnya.
Pada level budaya, gotong royong yang dahulu menjadi ciri utama bangsa kita, kini telah terasa meluntur. Karakter utama bermasyarakat yang dahulu menjadi primadona, seperti sikap jujur, amanah, ikhlas, dan tulus, telah mengalami kemunduran yang sangat mengkhawatirkan. Bahkan budaya-budaya positif seperti Maghrib Mangaji di lingkungan umat Islam, silaturrahmi antar kelompok, terasa mulai menipis.
Kita menyadari bahwa gelombang modernisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang merangsek dalam ruang-ruang privasi dan publik, pelan tapi pasti, mempengaruhi sikap, perilaku, dan tradisi luhur tersebut tercerabut dari akar sosialnya. Warisan-warisan leluhur yang sangat positif kini diganti dengan aktifitas modern yang menawarkan mimpi-mimpi yang sangat tidak penting, seperti tayangan TV berupa sinetron, infotainment, talkshow politik, panggung lawak dan lain sebagainya.
Tentu, kondisi di atas harus direspon oleh semua pihak agar situasinya tidak semakin memburuk. Nilai-nilai agama dan sosial yang baik sebagai ciri khas masyarakat kita harus ditumbuhkan kembangkan kembali. Semua lini kehidupan umat harus didorong agar sikap dan perilaku religius harus terus dipupuk melalui berbagai aktifitas atau program yang dapat mendorong umat tetap konsisten sebagai masyarakat dan bangsa yang memegang teguh nilai-nilai agama. Hal ini dilakukan agar bangsa Indonesia tidak mengarah kepada negara sekuler ekstrem yang mengancam terhadap nilai-nilai agama yang mulia.
Oleh karena itu, dalam rangka untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan tahun ini, umat Islam perlu didorong agar membangun kesadaran pentingnya menjalankan nilai-nilai agama secara total dan ajeg. Memang selama ini dapat dirasakan betapa Ramadan menjadi magnet orang untuk meningkatkan amal baik, tetapi selepas Idul Fitri seakan umat kembali kepada habitatnya. Sehingga, gerakan massif dan simultan untuk memberikan kesadaran dan pengalaman beragama menjadi sangat urgen dilakukan oleh semua kalangan. Tentu, hal ini memerlukan tekad bersama, khususnya kalangan agamawan untuk dijadikan semacam “amunisi” dalam memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap umat. Wallahu a’lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar