Dari Mereka Kita Belajar Ikhlas
Jaja Zarkasyi, MA
Jika kita melewati Taman Suropati Jakarta Pusat, di sana tampak suasana rindang dan nyaman. Banyak yang berkunjung ke taman ini untuk sekedar berolah raga, bersantai atau bahkan bermain musik. Rindangnya pepohonan menjadi daya tarik tersendiri, selain suasana yang asyik untuk melepas penat.
Bukan rindangnya pepohonan yang menjadi pusat perhatian saya. Sosok-sosok tua yang istiqomah mengayuhkan sapu lidi membersihkan dedaunan yang terjatuh dari pepohonan. Usia mereka sudah cukup renta, atau setidaknya tidak lagi sekuat para kuli panggul di pasar Kramat Jati. Bahkan ada diantara mereka yang sudah berjalan sedikit goyah, menandakan usia yang sudah melewati batas bagi pekerja di ibu kota.
Saya langsung teringat ayah dan ibu. Bagaimana jika itu adalah ayah atau kerabatku? tegakah kubiarkan mereka terbunuh debu knalpot kendaraan dan udara yang menusuk kulit yang mulai rapuh. Ditambah luasnya area taman dan sikap acuh pengunjung yang membuang sampah sembarangan, tentu sudah menjadi pemandangan bagi mereka. Ironi, di saat orang seusia mereka harusnya berada di rumah menimang cucu dan menikmati kehidupan, justru berjuang mengais rizki sekedar mengisi perut, dan sisanya dikirim ke kampung.
Pemandangan Jakarta banyak menyuguhkan beragam ironi dan drama kehidupan yang tak jarang menguras emosi. Bukan hanya mereka yang menjadi tukang sapu di Taman Suropati, masih banyak para lelaki tua dan bahkan renta harus berjuang mengais rizki. Mereka terjun demi menghidupi kebutuhan hidup, bahkan masih memiliki tanggungan di kampungnya.
Ikhlas. Itulah kata yang pernah terdengar saat saya bertanya kepada kakek penyapu taman Suropati. Mbah, begitu orang-orang memanggilnya, menjalankan rutinitasnya dengan penuh kikhlasan. Setidaknya hal itu dapat saya saksikan dengan kesabarannya mengumpulkan dedaunan. Dedaunan yang terkumpul lalu dimasukan kedalam karung. Tak jarang dedaunan yang telah terkumpul terbang dan berserakan akibat sabetan angin dari kendaraan yang lewat. Dan si Mbah pun kembali mengumpulkannya dengan penuh ketelatenan.
Mbah berbagi kisah sederhana dengan saya tentang arti keikhlasan. Mbah tidak pernah merasa rendah diri dengan pekerjaannya ini. Begitupun, ia tak pernah iri melihat orang seusianya menghabiskan waktu bercengkrama dengan keluarga, dan sesekali berolah raga di Taman Suropati. Biarlah. Inilah kisahku, dan mereka juga menjalani kisahnya juga. Kisahku bukanlah untuk disandingkan dengan kisahmu, karena kita ditakdirkan dalam permainan hidup yang berbeda. Dan karena berbeda itulah kita saling berbagi kisah dan pengalaman, setidaknya menjadi cermin hidup yang tak hanya berwajah yang satu. Begitulah penuturan Mbah yang sangat sederhana, namun sulit untuk dipahami.
Kisah si Mbah penyapu Taman Suropati ini mungkin sederhana. Namun jika kita perdalam lagi, terdapat mutiara kehidupan yang ia ajarkan kepada kita yang “katanya” lebih beruntung.
Mutiara pertama adalah sikap syukur dengan apa yang dijalani. Menikmati peran yang tengah dihadapi, apapun warna dan resikonya, itulah bagian dari sikap syukur. Jika kita pandai bersyukur, sesungguhnya tidak ada yang dapat dipandang lebih hina atau kurang terhormat dengan sebuah pekerjaan, selama pekerjaan tersebut halal dan tidak merugikan orang lain. Justru, spirit syukur telah mendorong seseorang untuk bekerja penuh dedikasi sehingga tugas dapat ditunaikan dengan baik.
Mutiara kedua adalah sikap ikhlas menjalani cerita hidup, karena memang setiap kita menempati peran dan tempat yang berbeda di kehidupan ini. Justru, perbedaan inilah yang menjadikan kehidupan ini saling mewarnai dan melengkapi. Perbedaan bukanlah isyarat Tuhan telah berpilih kasih. Mbah begitu ikhlas menjalani perannya sebagai penyapu walau usia tak lagi muda. Ia tidak pernah mengeluh menjalani usia senja di jalanan, sementara banyak orang seusianya asyik bersantai ria bersama anak dan cucu. Mbah pun punya cara tersendiri untuk tetap tersenyum, bahagia dan bermimpi.
Inilah kehidupan. Menyuguhkan beragam peran dari masing-masing kita. Dan peran-peran tersebut tak mungkin melahirkan makna jika tidak dijalani penuh dengan rasa syukur dan ikhlas. Karena syukur dan ikhlas akan menjaga kita dari sikap putus asa dan merasa rendah diri. Justru, keduanya akan mengantarkan kita kepada derajat mulia sebagai makhluk Tuhan.
Dan pelajaran ikhlas itu tak selalu kita dapatkan dari ayat yang tertulis, melainkan dari kisah orang-orang yang mendedikasikan hidup untuk dirinya dan orang lain. Wallahu a’lam bishshowab.
0 komentar:
Posting Komentar