.:: SELAMAT DATANG DI WEBSITE KUA UNGARAN BARAT KABUPATEN SEMARANG::. .::MOHON DOA RESTU ATAS PARTISIPASI KUA UNGARAN BARAT DALAM LOMBA KUA PERCONTOHAN TINGKAT PROVINSI TAHUN 2013::. .:: MENCARI DATA DALAM DATABASE CATATAN NIKAH, BISA DENGAN CARA DOWNLOAD DOKUMEN (.PDF)KEMUDIAN CARI DENGAN "CTRL - F" ::.
Jakarta, bimasislam—Demikian ditegaskan oleh Sekjen Kementerian Agama dalam Rapat Koordinasi Penetapan Indikator Kinerja Bidang Bimas Islam (27/6) di Hotel Millenium. “Tugas Kementerian Agama, terlebih jajaran Bimas Islam memang berat, kompleks akan tetapi mulia. Oleh karena itu jangan pesimis menjadi pegawai di Kementerian Agama.” Jelas Bahrul ketika menjawab pertanyaan salah seorang peserta yang mengungkapkan betapa ironinya menjadi pegawai di Kementerian Agama. “Kita (pegawai Kementerian Agama) adalah merupakan pewaris para Nabi dan Rasul, suatu kemuliaan yang Tuhan berikan kepada kita. Ini yang patut kita syukuri, karena kita mengemban amanat untuk membina, membimbing dan melayani umat Islam. Hal ini juga diamanati oleh para pejuang kemerdekaan yang telah mendahului kita. Bagaimana kita menjadi pewaris Nabi dan mengemban amanat para pejuang kemerdekaan kalau kita pesimis?
Lebih lanjut Bahrul menegaskan bahwa banyak keberhasilan yang telah kita torehkan untuk perkembangan umat Islam di Indonesia, semisal Madrasah Insan Cendikia menjadi nomor satu di Indonesia dalam hal indeks prestasi, banyak Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN) yang lebih maju dalam pengembangan kurikulum pendidikan, terutama di bidang Kedokteran, dan saat ini UIN Malang mendidik mahasiswa dari 22 negara di dunia.” ujarnya bersemangat.
Bahrul, menambahkan, “Tanamlah kebaikan mulai hari ini, karena semua agama mengajarkan pesan kebaikan dan kedamaian. Lakukanlah pekerjaan kita dengan niat yang baik dan penuh keikhlasan, itu 2 (dua) kunci utama yang harus kita pedomani. Dengan demikian masalah berat yang akan kita hadapi akan menjadi ringan, yang kompleks akan menjadi sederhana dan Tuhan pun akan hadir memberikan pertolongannya kepada kita.”
Di akhir paparannya, Bahrul, berpesan, dalam setiap pertemuan, saya terus menyemangati teman-teman untuk bekerja baik dan ikhlas, karena kita sama-sama orang biasa, akan tetapi kalau orang biasa dengan semangat yang luar biasa akan menghasilkan hasil yang luar biasa, dengan semangat dan motivasi yang kuat setengah pekerjaan kita akan selesai.”
Rapat Koordinasi yang diselenggarakan mulai tanggal 26-28 Juni 2013 di Hotel Millenium, Jakarta ini  dihadiri oleh 139 peserta yang terdiri para pejabat eselon III dan IV di lingkungan Kantor Wilayah kementerian Agama Provinsi dan Pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Bimas Islam. Narasumber pada Rapat Koordinasi ini menghadirkan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Direktur Jenderal Bimas Islam, Pejabat dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Pejabat dari Bappenas RI, Sekretaris dan para Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bimas Islam. (jml/foto:bimasislam)

Oleh Thobib Al-Asyhar
(Penulis Buku, Kasubag Sistem Informasi Bimas Islam)

Beberapa waktu lalu, sebuah komunitas dan pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat, mencanangkan Gerakan Membangun Indonesia Agamis Untuk Indonesia Damai. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk membangun kesadaran masyarakat muslim agar dapat menjalankan nilai-nilai agama demi terwujudnya tatanan social yang rukun, damai, dan hidup harmonis. Menurut penulis, pencanangan ini tidak terlepas dari fenomena adanya jarak yang jauh antara nilai-nilai agama dengan perilaku umat Islam belakangan ini.    
Seperti kita ketahui, bahwa bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius yang tercermin dari kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara. Di lingkungan masyarakat terlihat terus meningkat kesemarakan dan kekhidmatan kegiatan keagamaan, baik dalam bentuk ritual, maupun  dalam bentuk sosial keagamaan. Semangat keagamaan tersebut, tercermin pula dalam kehidupan bernegara yang dapat dijumpai dalam dokumen-dokumen kenegaraan tentang falsafah negara Pancasila, dan UUD 1945.
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional juga terbangun semangat keagamaan dengan ditetapkannya asas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sebagai salah satu asas pembangunan. Hal ini berarti bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etik  pembangunan.
Indonesia memang bukan negara agama, namun Indonesia adalah negara agamis. Dalam arti, tatanan kenegaraan NKRI tidak didasari oleh ideologi agama atau mazhab tertentu, namun negara dan bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi norma-norma keagamaan. Sehingga, segala pemikiran dan usaha untuk menggeser norma-norma agama akan tersingkir dari wacana kebangsaan. Pada saat yang sama, bangsa Indonesia juga memiliki corak dan watak masyarakat Timur yang kental dengan toleransi dan gotong-royong antar sesama. Karenanya, segala bentuk tindak kriminal, kekerasan dan arogansi social akan mendapatkan reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat.
Namun, apa yang kita lihat sekarang, masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya seperti apa yang dipaparkan di atas. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang sangat cepat akhir-akhir ini telah merubah cara pandang dan perilaku masyarakat secara drastis. Nilai-nilai sosial yang dulunya dianggap tabu, kini mulai bergeser menjadi biasa, bahkan menjadi fenomena dalam kehidupan sehari-hari. Pola pikir dan perilaku positif yang memiliki akar sosial yang tinggi dari sejarah kebudayaan masyarakat mulai nampak ditinggalkan, karena kuatnya tuntutan hidup dalam rangka untuk mencapai puncak kesejahteraan material.
Dampak dari kondisi tersebut kemudian membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat modern. Masyarakat ini dicirikan dengan tuntutan pekerjaan yang padat, tingkat kompetisi yang ketat dan ambisi kesejahteraan hidup yang tinggi. Sehingga, secara tidak sadar, pola pikir dan kebiasaan lama yang dianggap kurang mendukung bagi aktifitas “kemodernan” mulai ditinggalkan.
Seperti kondisi saat ini dimana masyarakat kita dengan mudah terjebak dalam kecenderungan hidup materalistik, hedonisnisk, dan individualistik. Nilai-nilai etika, moral dan keluhuran budaya jauh mengalami kemunduran. Dahulu orang masih menjunjung tinggi kesetiaan, tetapi sekarang banyak keluarga yang hancur karena diakibatkan perselingkuhan. Dahulu orang masih memegang teguh janji, tetapi sekarang dengan terang-terangan banyak yang melanggarnya. Dahulu orang malu melakukan korupsi, sekarang seperti menjadi budaya di semua level sosial, tak terkecuali dari kalangan yang menjadi simbol agama, dan begitu seterusnya.
Pada level budaya, gotong royong yang dahulu menjadi ciri utama bangsa kita, kini telah terasa meluntur. Karakter utama bermasyarakat yang dahulu menjadi primadona, seperti sikap jujur, amanah, ikhlas, dan tulus, telah mengalami kemunduran yang sangat mengkhawatirkan. Bahkan budaya-budaya positif seperti Maghrib Mangaji di lingkungan umat Islam, silaturrahmi antar kelompok, terasa mulai menipis.
Kita menyadari bahwa gelombang modernisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang merangsek dalam ruang-ruang privasi dan publik, pelan tapi pasti, mempengaruhi sikap, perilaku, dan tradisi luhur tersebut tercerabut dari akar sosialnya. Warisan-warisan leluhur yang sangat positif kini diganti dengan aktifitas modern yang menawarkan mimpi-mimpi yang sangat tidak penting, seperti tayangan TV berupa sinetron, infotainment, talkshow politik, panggung lawak dan lain sebagainya.
Tentu, kondisi di atas harus direspon oleh semua pihak agar situasinya tidak semakin memburuk. Nilai-nilai agama dan sosial yang baik sebagai  ciri khas masyarakat kita harus ditumbuhkan kembangkan kembali. Semua lini kehidupan umat harus didorong agar sikap dan perilaku religius harus terus dipupuk melalui berbagai aktifitas atau program yang dapat mendorong umat tetap konsisten sebagai masyarakat dan bangsa yang memegang teguh nilai-nilai agama. Hal ini dilakukan agar bangsa Indonesia tidak mengarah kepada negara sekuler ekstrem yang mengancam terhadap nilai-nilai agama yang mulia.
Oleh karena itu, dalam rangka untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan tahun ini, umat Islam perlu didorong agar membangun kesadaran pentingnya menjalankan nilai-nilai agama secara total dan ajeg. Memang selama ini dapat dirasakan betapa Ramadan menjadi magnet orang untuk meningkatkan amal baik, tetapi selepas Idul Fitri seakan umat kembali kepada habitatnya. Sehingga, gerakan massif dan simultan untuk memberikan kesadaran dan pengalaman beragama menjadi sangat urgen dilakukan oleh semua kalangan. Tentu, hal ini memerlukan tekad bersama, khususnya kalangan agamawan untuk dijadikan semacam “amunisi” dalam memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap umat. Wallahu a’lam bish-shawab.



Sepasang suami istri yang berusia lanjut, suatu kali mengunjungi kantor pusat untuk bernostalgia tentang suka duka ketika mereka masih aktif bekerja dahulu. Kesempatan bernostalgia ini rupanya dimanfaatkan mereka untuk menikmati sop buntut yang tersohor di kantin, dalam kantor pusat tersebut. Kebetulan, ketika itu jam makan siang sehingga banyak pegawai yang santap siang di sana.

Suami istri ini lalu masuk antrean untuk memesan sop buntut. Mereka memesan satu porsi sop buntut beserta nasinya, dan dua gelas es teh manis serta sebuah piring kosong dan mangkuk. Semua yang melihat mereka heran. Sepasang suami istri ini hanya memesan satu porsi. Bahkan, beberapa pegawai lain iba melihat betapa menderitanya nasib pensiunan ini sehingga untuk makan siang di kantin saja hanya memesan satu porsi. Sang suami lalu membagi nasi menjadi dua bagian, demikian pula sop buntutnya. Satu bagian untuk dirinya dan bagian lain diserahkan kepada istrinya. Mulailah mereka makan. Namun, yang makan adalah suami dulu, sementara sang istri dengan tersenyum menunggu dan menatap kekasihnya makan.

Seorang pegawai tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan menuju meja mereka. Dengan rasa iba pegawai ini menawarkan kepada pasangan suami istri ini satu porsi lagi sop buntut gratis, ia yang mentraktir. Dia merasa tidak tahan melihat  sepasang suami istri ini, sementara ia sendiri hidup berkecukupan. Namun, tawaran pegawai ini ditolak secara halus sambil tersenyum oleh pasangan ini dengan menggunakan bahasa isyarat.

Sang suami pun kembali melanjutkan santap siangnya, sementara sang istri hanya menatap sambil tersenyum hingga sop buntut bagiannya menjadi dingin. Setelah beberapa lama, kembali si pegawai yang berkecukupan gelisah melihat tingkah pasangan ini. Sang istri ternyata tidak makan, hanya menunggu sang suami makan. Betapa cintanya sang istri kepada suami hingga rela berkorban menunggu sang suami selesai makan.

Kembali, pegawai tadi dengan rasa penasaran mendatangi sang ibu dan bertanya, "Ibu, saya melihat Ibu hanya menunggu bapak makan semen­tara Ibu sendiri tidak makan. Kalau boleh tahu, apakah yang ibu tunggu?" Dengan tersenyum sang ibu menjawab, "Yang saya tunggu adalah gigi, sementara ini masih dipakai Bapak!".





Jaja Zarkasyi, MA
Jika kita melewati Taman Suropati Jakarta Pusat, di sana tampak suasana rindang dan nyaman. Banyak yang berkunjung ke taman ini untuk sekedar berolah raga, bersantai atau bahkan bermain musik. Rindangnya pepohonan menjadi daya tarik tersendiri, selain suasana yang asyik untuk melepas penat.
Bukan rindangnya pepohonan yang menjadi pusat perhatian saya. Sosok-sosok tua yang istiqomah mengayuhkan sapu lidi membersihkan dedaunan yang terjatuh dari pepohonan. Usia mereka sudah cukup renta, atau setidaknya tidak lagi sekuat para kuli panggul di pasar Kramat Jati. Bahkan ada diantara mereka yang sudah berjalan sedikit goyah, menandakan usia yang sudah melewati batas bagi pekerja di ibu kota.
Saya langsung teringat ayah dan ibu. Bagaimana jika itu adalah ayah atau kerabatku? tegakah kubiarkan mereka terbunuh debu knalpot kendaraan dan udara yang menusuk kulit yang mulai rapuh. Ditambah luasnya area taman dan sikap acuh pengunjung yang membuang sampah sembarangan, tentu sudah menjadi pemandangan bagi mereka. Ironi, di saat orang seusia mereka harusnya berada di rumah menimang cucu dan menikmati kehidupan, justru berjuang mengais rizki sekedar mengisi perut, dan sisanya dikirim ke kampung.
Pemandangan Jakarta banyak menyuguhkan beragam ironi dan drama kehidupan yang tak jarang menguras emosi. Bukan hanya mereka yang menjadi tukang sapu di Taman Suropati, masih banyak para lelaki tua dan bahkan renta harus berjuang mengais rizki. Mereka terjun demi menghidupi kebutuhan hidup, bahkan masih memiliki tanggungan di kampungnya.
Ikhlas. Itulah kata yang pernah terdengar saat saya bertanya kepada kakek penyapu taman Suropati. Mbah, begitu orang-orang memanggilnya, menjalankan rutinitasnya dengan penuh kikhlasan. Setidaknya hal itu dapat saya saksikan dengan  kesabarannya mengumpulkan dedaunan. Dedaunan yang terkumpul lalu dimasukan kedalam karung. Tak jarang dedaunan yang telah terkumpul terbang dan berserakan akibat sabetan angin dari kendaraan yang lewat. Dan si Mbah pun kembali mengumpulkannya dengan penuh ketelatenan.
Mbah berbagi kisah sederhana dengan saya tentang arti keikhlasan.  Mbah tidak pernah merasa rendah diri dengan pekerjaannya ini. Begitupun, ia tak pernah iri melihat orang seusianya menghabiskan waktu bercengkrama dengan keluarga, dan sesekali berolah raga di Taman Suropati. Biarlah. Inilah kisahku, dan mereka juga menjalani kisahnya juga. Kisahku bukanlah untuk disandingkan dengan kisahmu, karena kita ditakdirkan dalam permainan hidup yang berbeda. Dan karena berbeda itulah kita saling berbagi kisah dan pengalaman, setidaknya menjadi cermin hidup yang tak hanya berwajah yang satu. Begitulah penuturan Mbah yang sangat sederhana, namun sulit untuk dipahami.
Kisah si Mbah penyapu Taman Suropati ini mungkin sederhana. Namun jika kita perdalam lagi, terdapat mutiara kehidupan yang ia ajarkan kepada kita yang “katanya” lebih beruntung.
Mutiara pertama adalah sikap syukur dengan apa yang dijalani. Menikmati peran yang tengah dihadapi, apapun warna dan resikonya, itulah bagian dari sikap syukur. Jika kita pandai bersyukur, sesungguhnya tidak ada yang dapat dipandang lebih hina atau kurang terhormat dengan sebuah pekerjaan, selama pekerjaan tersebut halal dan tidak merugikan orang lain. Justru, spirit syukur telah mendorong seseorang untuk bekerja penuh dedikasi sehingga tugas dapat ditunaikan dengan baik.
Mutiara kedua adalah sikap ikhlas menjalani cerita hidup, karena memang setiap kita menempati peran dan tempat yang berbeda di kehidupan ini. Justru, perbedaan inilah yang menjadikan kehidupan ini saling mewarnai dan melengkapi. Perbedaan bukanlah isyarat Tuhan telah berpilih kasih. Mbah begitu ikhlas menjalani perannya sebagai penyapu walau usia tak lagi muda. Ia tidak pernah mengeluh menjalani usia senja di jalanan, sementara banyak orang seusianya asyik bersantai ria bersama anak dan cucu. Mbah pun punya cara tersendiri untuk tetap tersenyum, bahagia dan bermimpi.
Inilah kehidupan. Menyuguhkan beragam peran dari masing-masing kita. Dan peran-peran tersebut tak mungkin melahirkan makna jika tidak dijalani penuh dengan rasa syukur dan ikhlas. Karena syukur dan ikhlas akan menjaga kita dari sikap putus asa dan merasa rendah diri. Justru, keduanya akan mengantarkan kita kepada derajat mulia sebagai makhluk Tuhan.
Dan pelajaran ikhlas itu tak selalu kita dapatkan dari ayat yang tertulis, melainkan dari kisah orang-orang yang mendedikasikan hidup untuk dirinya dan orang lain. Wallahu a’lam bishshowab.

Jakarta, bimasislam— Keberadaan anak jalanan bukan hanya tanggungjawab Kementerian Sosial. Penyuluh Agama Islam yang berada di lingkungan Bimas Islam, Kementerian Agama, juga memiliki tanggungjawab untuk memberikan bimbingan keagamaan kepada anak-anak jalanan. Kartika Oktavia, Aktivis Komunitas Peduli Anak Jalanan (KOPAJA), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yangconcern pada pemberdayaan anak-anak jalanan, ketika dihubungibimasislam (20/05) menyampaikan bahwa anak-anak jalanan membutuhkan bimbingan penyuluh agama secara khusus, mengingat angka putus sekolah di kalangan anak jalanan amat tinggi. Secara otomatis, menurutnya, hal ini menyebabkan pendidikan agama yang semestinya mereka dapatkan di sekolah menjadi nihil.
Menurut aktivis pemberdayaan Anak Jalanan yang berpusat di Palmerah, Jakarta Barat ini, meski anak-anak jalanan tidak memiliki pendidikan formal, mereka harus tetap memiliki fondasi agama yang  kokoh agar tetap memiliki akhlak yang baik dan bermoral santun, mengingat kehidupan keras yang mereka alami di jalanan kerap mendistorsi akhlak mereka, tegasnya.
Senada dengan Kartika, Karina, aktivis Yayasan Alang-Alang yang memberdayakan anak-anak jalanan di Ciawi mengatakan bahwa kebutuhan akan penyuluh agama menjadi penting bagi anak-anak jalanan karena pembinaan keagamaan berperan besar dalam membangun karakter. “Peran pembinaan agama bagi pembangunan karakter adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dibantah. Oleh karena itu, pembinaan keagamaan bagi anak-anak jalanan diperlukan agar keseharian mereka mencerminkan nilai-nilai agama secara baik.” tandasnya.  (Ska/foto:Kopaja)

Jakarta, bimasislam— Sejalan dengan semangat reformasi birokrasi, jajaran Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam diminta meningkatkan integritas, salah satunya dengan meningkatkan profesionalisme, yaitu bekerja sesuai dengan keahlian, sesuai dengan tugas dan fungsi, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, dan sesuai dengan norma-norma. Integritas inilah yang menjadi ruh pelaksanaan reformasi birokrasi menuju Indonesia sejahtera.
Hal ini disampaikan oleh Dirjen Bimas Islam, Prof. Dr. Abdul Djamil, MA, dalam sambutannya pada penandatanganan Pakta Integritas pegawai Ditjen Bimas Islam dan penyerahan DIPA, Rabu (22/5) bertempat di lantai III Gedung Kemenag Jl. MH. Thamrin Jakarta. Hadir dalam kesempatan ini para pejabat eselon II, III dan IV serta seluruh karyawan Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam.
Abdul Djamil menegaskan, ruh reformasi birokrasi adalah pelaksanaan anggaran yang transparan, akuntabel dan profesional. Sebagai penjabarannya, seluruh satker Bimas Islam dalam pelaksanaan anggaran harus tunduk dan patuh pada ketentuan yang berlaku dan menghindari hal-hal yang potensial memunculkan pelanggaran.
“Mari kita ciptakan birokrasi yang bersih, sehat dan profesional. Kita jalankan semuanya sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku”, tegasnya.
Di sisi lain, sebagai satker yang membawahi pembinaan masyarakat Islam, menjadikan Bimas Islam berada dalam posisi terdepan dalam pembangunan nasional bidang agama. Hal ini menghadirkan tantangan serius kepada Bimas Islam untuk lebih proaktif, kreatif dan inovatif dalam pelaksanaan program dan kegiatan, mengingat problematika keumatan semakin variatif dan rumit.
“Wilayah kerja Bimas Islam itu sangat luas. Kita harus benar-benar memastikan capaian kinerja dapat kita capai sehingga umat benar-benar terlayani dengan baik”, pungkasnya.
Penandatangan pakta integritas sendiri dilakukan oleh perwakilan pejabat dan staf dari empat satker eselon II di lingkungan Ditjen Bimas Islam serta disaksikan oleh seluruh jajaran Ditjen Bimas Islam. Pada kesempatan yang sama, Dirjen Bimas Islam menyerahkan DIPA kepada lima unit eselon II di lingkungan Ditjen Bimas Islam. (kangjeje-tom/foto:bimasislam